Rabu, 05 Desember 2012

Drama Kaca



Tanggungjawab. Apa kalian tahu apa itu? Kuberitahu kalian, gadis itu tak tahu. Gadis itu sudah lama tak tahu. Dia gadis yang egois. Dia tak ingin mendapatkan harta atau barang apapun itu. Dia hanya haus pengakuan. Karena dia terlalu lama mati suri, hingga lupa dengan dunia nyata. Dia pikir dunia nyata seharusnya seperti dunia saat dia koma, ternyata tidak.
Gadis itu menatapku tajam diantara kaca-kaca rumah sakit. Terlalu gelap di tempatnya berdiri, bahkan saking gelapnya seakan-akan dia hanya bayangan. Berkelebat diantara kaca-kaca yang dingin, membaur bersama udara. Kuhembuskan napasku, dia sangat menakutkan. Tidak, dia tak seperti hantu dengan wajah menyeramkan. Dia monster dengan topeng yang sangat manis. Bisa kalian bayangkan orang operasi plastik? Yah, seperti itulah, palsu.
Kuperhatikan dirinya. Dia tidak sendiri, banyak yang menemaninya. Kurasa, jika aku di sana akan bahagia. Namun, dia tidak. Dia punya dunia sendiri. Matanya melukiskan suatu penjara. Dan benar saja tafsiranku, ketika dia sendiri, dia mencoba memecahkan kaca yang membatasi kami. Dia begitu ingin lari ke duniaku. Satu pukulan, dua pukulan, tiga pukulan, dia menyerah. Terlalu takut meninggalkan dunianya. Begitu seterusnya, seringkali kutemukan gadis itu memukul kaca sebentar lalu menyerah.
Ketakutan yang menebal setiap harinya, seperti topeng yang membungkus tubuhnya. Topeng manisnya lama kelamaan tergantinkan dengan topeng aslinya. Dia hanya mengeluh-mengeluh dan mengeluh. Tanggungjawab, hemh, kata itu seakan terhapus dari hatinya. Seakan, yah, hanya seakan. Karena kata itu hanya menyingkir ke pojok hatinya.
Jika kalian menonton drama ini bersamaku duduk di bioskop ini, mugkin akan mengerti bahwa drama ini sangat menyedihkan. Memang gadis itu selain egois juga pengecut, bahkan munafik dengan memakai topeng manis. Tapi, dia sangat menyedihkan. Karena dia tak tahu bahwa dia bisa memanggil kata-kata yang terpinggirkan seperti tanggungjawab. Bisa memperbaiki semua. Bahwa mereka masih ada di hatinya, tidak hilang. Dan tak pernah bisa hilang.
Bintang-bintang terlihat di kaca itu. Gadis yang sekarang terlihat lebih menyerupai monster dibanding manusia itu berjalan dalam kegelisahan. Ke kanan, ke kiri. Dia sudah memaksa semua orang menjadi seperti yang dia inginkan. Bahkan merubah dunianya hampir mirip seperti duniaku. Tapi kenapa tak ada kebahagiaan. Itulah yang dibingungkannya.
Aku berteriak padanya, “Kenapa kamu tak menjadi dirimu? Kamu tak perlu menjadi Aku! Ayolah, panggil kata-kata manis itu. Aku yakin kamu bisa memperbaiki semua.” dia hanya bergeming, seakan mendengar dan tidak teriakanku. Kali ini aku benar-benar frustasi. Kenapa ada gadis seperti dia? Begitu bodohnya sampai tak mengerti bahwa topeng monster yang tertempel di dirinya bisa dilepas. Dia punya banyak koleksi topeng malaikat. Dia bisa memakainya bukan.
Kutinggalkan tempat dudukku tanpa melihat ending. Aku kecewa dengan tokoh utama wanitaku. Yah, walaupun aku tahu ending drama selalu memberi kejutan. Tapi, bukankah lebih menyenangkan menjadi sutradara drama dibanding penonton? Lebih menyenangkan menjadi penulis dibanding pembaca? Karena aku sudah memutuskan tak lagi menjadi penonton, tapi menjadi sutradara. Akan kubuat endingnya sesuai dengan diriku. Kulepaskan tokoh wanita utamaku dari siksaannya.


0 komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

Blogroll