Tanggungjawab.
Apa kalian tahu apa itu? Kuberitahu kalian, gadis itu tak tahu. Gadis
itu sudah lama tak tahu. Dia gadis yang egois. Dia tak ingin
mendapatkan harta atau barang apapun itu. Dia hanya haus pengakuan.
Karena dia terlalu lama mati suri, hingga lupa dengan dunia nyata.
Dia pikir dunia nyata seharusnya seperti dunia saat dia koma,
ternyata tidak.
Gadis
itu menatapku tajam diantara kaca-kaca rumah sakit. Terlalu gelap di
tempatnya berdiri, bahkan saking gelapnya seakan-akan dia hanya
bayangan. Berkelebat diantara kaca-kaca yang dingin, membaur bersama
udara. Kuhembuskan napasku, dia sangat menakutkan. Tidak, dia tak
seperti hantu dengan wajah menyeramkan. Dia monster dengan topeng
yang sangat manis. Bisa kalian bayangkan orang operasi plastik? Yah,
seperti itulah, palsu.
Kuperhatikan
dirinya. Dia tidak sendiri, banyak yang menemaninya. Kurasa, jika aku
di sana akan bahagia. Namun, dia tidak. Dia punya dunia sendiri.
Matanya melukiskan suatu penjara. Dan benar saja tafsiranku, ketika
dia sendiri, dia mencoba memecahkan kaca yang membatasi kami. Dia
begitu ingin lari ke duniaku. Satu pukulan, dua pukulan, tiga
pukulan, dia menyerah. Terlalu takut meninggalkan dunianya. Begitu
seterusnya, seringkali kutemukan gadis itu memukul kaca sebentar lalu
menyerah.
Ketakutan
yang menebal setiap harinya, seperti topeng yang membungkus tubuhnya.
Topeng manisnya lama kelamaan tergantinkan dengan topeng aslinya. Dia
hanya mengeluh-mengeluh dan mengeluh. Tanggungjawab, hemh, kata itu
seakan terhapus dari hatinya. Seakan, yah, hanya seakan. Karena kata
itu hanya menyingkir ke pojok hatinya.
Jika
kalian menonton drama ini bersamaku duduk di bioskop ini, mugkin akan
mengerti bahwa drama ini sangat menyedihkan. Memang gadis itu selain
egois juga pengecut, bahkan munafik dengan memakai topeng manis.
Tapi, dia sangat menyedihkan. Karena dia tak tahu bahwa dia bisa
memanggil kata-kata yang terpinggirkan seperti tanggungjawab. Bisa
memperbaiki semua. Bahwa mereka masih ada di hatinya, tidak hilang.
Dan tak pernah bisa hilang.
Bintang-bintang
terlihat di kaca itu. Gadis yang sekarang terlihat lebih menyerupai
monster dibanding manusia itu berjalan dalam kegelisahan. Ke kanan,
ke kiri. Dia sudah memaksa semua orang menjadi seperti yang dia
inginkan. Bahkan merubah dunianya hampir mirip seperti duniaku. Tapi
kenapa tak ada kebahagiaan. Itulah yang dibingungkannya.
Aku
berteriak padanya, “Kenapa kamu tak menjadi dirimu? Kamu tak perlu
menjadi Aku! Ayolah, panggil kata-kata manis itu. Aku yakin kamu bisa
memperbaiki semua.” dia hanya bergeming, seakan mendengar dan tidak
teriakanku. Kali ini aku benar-benar frustasi. Kenapa ada gadis
seperti dia? Begitu bodohnya sampai tak mengerti bahwa topeng monster
yang tertempel di dirinya bisa dilepas. Dia punya banyak koleksi
topeng malaikat. Dia bisa memakainya bukan.
Kutinggalkan
tempat dudukku tanpa melihat ending. Aku kecewa dengan tokoh utama
wanitaku. Yah, walaupun aku tahu ending drama selalu memberi kejutan.
Tapi, bukankah lebih menyenangkan menjadi sutradara drama dibanding
penonton? Lebih menyenangkan menjadi penulis dibanding pembaca?
Karena aku sudah memutuskan tak lagi menjadi penonton, tapi menjadi
sutradara. Akan kubuat endingnya sesuai dengan diriku. Kulepaskan
tokoh wanita utamaku dari siksaannya.
0 komentar:
Posting Komentar