Selasa, 27 November 2012

Halte Tua



Bau tanah basah menyeruak diantara keramaian lalu lalang orang. Seakan-akan dia sangat ahli mencari jalan sampai ke hidungku. Tetes-tetes huja menyentuh kulit wajahku. Ah, Jogja yang kutinggalkan beberapa tahun lalu masih saja sama. Membawa kenangan tentang ketidakpastian diriku dulu.
“Adek darimana?” tanya mbok1 tua di sebelahku. Kuamati dirinya, Dia, sungguh mirip nenek yang menyuruhku pergi dari kota kelahiranku beberapa tahun silam.
“Saya dari jauh, mbah. Tapi saya asli Jogja kok.” jawabku sambil mencoba tersenyum untuk mengusir kenangan masa lalu.
“Mau kemana? Kok cah ayu naik bis?” kuperhatikan jarik lurik lusuh yang dipakainya. Kupikir jarik itu sudah berumur lebih dari 5 tahun.
“Saya tidak tahu mbah. Saya tadi hanya berkeliling ingin melihat bagaimana Jogja sekarang. Karena hujan, makanya berhenti di halte ini. Saya tidak menunggu bis, saya menunggu hujan.” Kuberikan senyum yang lebih manis, memohon untuk dimaklumi.
“Kamu itu lucu nduk2. Hujan kok ditunggu.”
kurasa aku memang orang lucu. Termasuk kedatanganku kemari. Sudah tahu tidak akan ada yang menyambut masih saja datang. Tidak ada yang mengenal masih saja berharap ada yang menyapa. Dan sudah tahu di kota ini terluka masih berharap untuk sembuh.
Kuamati lagi nenek duduk di besi berkarat di sampingku. Wajahnya letih tapi tampak rasa syukurnya. Keranjang bunga di sampingnya mengeluarkan aroma harum bunga melati. Seakan-akan ada melati di sana. Mungkin saja dia penjual bunga di pasar.
Mbah, bolehkah saya peluk?” tanyaku memecah keheningan yang menggantung beberapa saat.
Aku ki reget lo, nduk.”3
“Tidak apa-apa mbah. Saya hanya rindu nenek saya.” kupeluk tubuh tua yang kecil itu. Sebentar tapi membuat air mataku turun seperti hujan sore ini.

1 Nenek
2 Panggilan anak
3 Aku itu kotor, nak.



Tulisan ini memang agak mirip setting tempatnya dengan Women and Rain, tulisanku terdahulu. Aku tak bisa berpikir setting lain, saat diminta menulis pada acara Writing Workshop bersama Pipiet Senja dan Evatya Luna beberapa waktu lalu. Yah, walaupun ceritanya terkesan biasa tapi cukup membuatku bahagia. Kenapa? Karena tulisanku termasuk yang terbaik. Untuk penulis pemula sepertiku, pengakuan kecil itu sungguh menyenangkan. Sebenarnya di kertas yang kupakai menulis ada tandatangan bunda Pipiet Senja dan mbak Evatya Luna lho, dan satu catatan kecil dari mbak Eli. Terimakasih, aku akan terus menulis. ^_^

2 komentar:

Unknown at: 27 November 2012 pukul 19.52 mengatakan...

Nice... Kebetulan saya sangat sukkka hujan dan aroma tanah ketika hujan pertama kali turun... di tambah lagi ada bahasa jawanya... *bukan bermaksud sukuisme lhooo.... *heee....

Unknown at: 4 Desember 2012 pukul 14.45 mengatakan...

@Uswah Ummu, Terimakasih. Hahaha, sebenarnya temanya kearifan lokal, makanya ada sedikit bahasa jawa.

Posting Komentar

Blogger templates

Blogroll