“Adek
darimana?” tanya mbok1 tua di sebelahku. Kuamati dirinya, Dia,
sungguh mirip nenek yang menyuruhku pergi dari kota kelahiranku
beberapa tahun silam.
“Saya
dari jauh, mbah. Tapi saya asli Jogja kok.” jawabku sambil mencoba
tersenyum untuk mengusir kenangan masa lalu.
“Mau
kemana? Kok cah ayu naik bis?” kuperhatikan jarik lurik lusuh yang
dipakainya. Kupikir jarik itu sudah berumur lebih dari 5 tahun.
“Saya
tidak tahu mbah. Saya tadi hanya berkeliling ingin melihat bagaimana
Jogja sekarang. Karena hujan, makanya berhenti di halte ini. Saya
tidak menunggu bis, saya menunggu hujan.” Kuberikan senyum yang
lebih manis, memohon untuk dimaklumi.
“Kamu
itu lucu nduk2.
Hujan kok ditunggu.”
kurasa
aku memang orang lucu. Termasuk kedatanganku kemari. Sudah tahu tidak
akan ada yang menyambut masih saja datang. Tidak ada yang mengenal
masih saja berharap ada yang menyapa. Dan sudah tahu di kota ini
terluka masih berharap untuk sembuh.
Kuamati
lagi nenek duduk di besi berkarat di sampingku. Wajahnya letih tapi
tampak rasa syukurnya. Keranjang bunga di sampingnya mengeluarkan
aroma harum bunga melati. Seakan-akan ada melati di sana. Mungkin
saja dia penjual bunga di pasar.
“Mbah,
bolehkah saya peluk?” tanyaku memecah keheningan yang menggantung
beberapa saat.
“Aku
ki reget lo, nduk.”3
“Tidak apa-apa mbah.
Saya hanya rindu nenek saya.” kupeluk tubuh tua yang kecil itu.
Sebentar tapi membuat air mataku turun seperti hujan sore ini.
1
Nenek
2
Panggilan anak
3
Aku itu kotor, nak.
Tulisan
ini memang agak mirip setting tempatnya dengan Women and Rain,
tulisanku terdahulu. Aku tak bisa berpikir setting lain, saat diminta
menulis pada acara Writing Workshop bersama Pipiet Senja dan Evatya
Luna beberapa waktu lalu. Yah, walaupun ceritanya terkesan biasa tapi
cukup membuatku bahagia. Kenapa? Karena tulisanku termasuk yang
terbaik. Untuk penulis pemula sepertiku, pengakuan kecil itu sungguh
menyenangkan. Sebenarnya di kertas yang kupakai menulis ada
tandatangan bunda Pipiet Senja dan mbak Evatya Luna lho, dan satu
catatan kecil dari mbak Eli. Terimakasih, aku akan terus menulis. ^_^
2 komentar:
Nice... Kebetulan saya sangat sukkka hujan dan aroma tanah ketika hujan pertama kali turun... di tambah lagi ada bahasa jawanya... *bukan bermaksud sukuisme lhooo.... *heee....
@Uswah Ummu, Terimakasih. Hahaha, sebenarnya temanya kearifan lokal, makanya ada sedikit bahasa jawa.
Posting Komentar