Parangkusumo beach, Yogyakarta |
Aku
sudah mengenalnya cukup lama. Namanya Sepi. Kami sering menghabiskan
waktu bersama. Sekedar untuk mendengarkan mozart, atau musik-musik
klasik. Untuk ukuran persahabatan, bisa dibilang kami cukup kompak.
Tak perlu harus menjelaskan banyak hal, kami sudah saling mengerti.
Tapi jika di ukur dari permusuhan, kami petarung yang hebat.
Pertarungan kami selalu berakhir seri dan tak pernah selesai.
Anehkan?
Namanya
Sepi. Dulu saat baru berkenalan, kupikir orangtuanya memberi nama itu
karena mengerti anaknya. Ternyata aku salah. Mereka memberi nama
justru karena ketidaktahuan. Mereka memberi nama, supaya bisa diingat
anaknya. Karena dunia mereka adalah dunia sepi.
Dia
Sepi. Kami selalu berbaring berdambingan lagi dan lagi. Seperti
tahun-tahun lalu. Merasakan pasir yang empuk, dan mendengarkan
renyahnya ombak. Kali ini, tidak ada mozart yang manis. Kalian tahu,
Sepi gadis yang cantik.
Bulu
matanya panjang, cocok dengan mata coklat mudanya yang seperti
kucing. Hidung dan dagu yang runcing, bibir tipis dengan warna merah
alami. Dialah Sepi, gadis cantik dengan kulit khas pesisirnya. Aku
terkagum-kagum melihatnya pertama kali. Dan tak pernah menyangka dia
berasal dari dunia sepi.
Kalian
tahu bagaimana dunia sepi itu? Aku tak tahu, dia hanya sedikit
menceritakan bagaimana keadaan dunianya. Itu pun hanya sebatas
pengakuan kecil. Dan aku tak bisa membayangkannya.
“Dunia
sepi itu benar-benar sepi. Tak ada suara yang bisa kau dengar. Kau
hanya bisa membayangkan suara dari hatimu. Merasakan getar dari
kulitmu. Bahkan kau tak bisa mendengar suaramu sendiri. Tak ada
mozart, tak ada tetabuhan dari ombak yang menabrak karang, tak ada
gemerisik angin yang membelai daun-daun kering. Mungkin seperti malam
di gaza. Gelap menyayat.” itulah yang dikatakannya.
Aku
memandangnya tak percaya. Dia masih berbaring di sampingku.
Tersenyum, memandang langit. “Bagaimana kau masih bisa tersenyum
jika duniamu seperti itu? Kalau aku mungkin sudah tak ingin hidup.”
Dia
mengamati wajahku, “Yang kuceritakan itu adalah duniaku dulu.
Duniaku sekarang sudah berubah. Memang masih sepi, masih tak ada
suara apapun. Tapi, aku bisa melihat sekaligus mendengar dengan
mataku, hatiku. Ada banyak hal yang bisa kita dengar tanpa telinga.
Kenapa harus terkurung di dunia sepi yang menyakitkan? Ah, sudahlah.
Jangan bicarakan dunia sepi yang itu. Aku bahagia dengan dunia ini.
Kenapa harus mengingat dunia sepi yang itu?”
Aku
tersenyum melihat wajah bahagianya. Yah, kenapa harus membahas masa
lalu jika masa kini lebih membahagiakan? Jika masa lalu menyakitkan,
bukankah tak perlu kita bawa? Sungguh, sepi yang cantik.
1 komentar:
manissss.... lumayan...bikin aku baca sampai akhir... 1 point 4 u
Posting Komentar