Jumat, 23 November 2012

Dunia Sepi



Parangkusumo beach, Yogyakarta

Aku sudah mengenalnya cukup lama. Namanya Sepi. Kami sering menghabiskan waktu bersama. Sekedar untuk mendengarkan mozart, atau musik-musik klasik. Untuk ukuran persahabatan, bisa dibilang kami cukup kompak. Tak perlu harus menjelaskan banyak hal, kami sudah saling mengerti. Tapi jika di ukur dari permusuhan, kami petarung yang hebat. Pertarungan kami selalu berakhir seri dan tak pernah selesai. Anehkan?
Namanya Sepi. Dulu saat baru berkenalan, kupikir orangtuanya memberi nama itu karena mengerti anaknya. Ternyata aku salah. Mereka memberi nama justru karena ketidaktahuan. Mereka memberi nama, supaya bisa diingat anaknya. Karena dunia mereka adalah dunia sepi.
Dia Sepi. Kami selalu berbaring berdambingan lagi dan lagi. Seperti tahun-tahun lalu. Merasakan pasir yang empuk, dan mendengarkan renyahnya ombak. Kali ini, tidak ada mozart yang manis. Kalian tahu, Sepi gadis yang cantik.
Bulu matanya panjang, cocok dengan mata coklat mudanya yang seperti kucing. Hidung dan dagu yang runcing, bibir tipis dengan warna merah alami. Dialah Sepi, gadis cantik dengan kulit khas pesisirnya. Aku terkagum-kagum melihatnya pertama kali. Dan tak pernah menyangka dia berasal dari dunia sepi.
Kalian tahu bagaimana dunia sepi itu? Aku tak tahu, dia hanya sedikit menceritakan bagaimana keadaan dunianya. Itu pun hanya sebatas pengakuan kecil. Dan aku tak bisa membayangkannya.
Dunia sepi itu benar-benar sepi. Tak ada suara yang bisa kau dengar. Kau hanya bisa membayangkan suara dari hatimu. Merasakan getar dari kulitmu. Bahkan kau tak bisa mendengar suaramu sendiri. Tak ada mozart, tak ada tetabuhan dari ombak yang menabrak karang, tak ada gemerisik angin yang membelai daun-daun kering. Mungkin seperti malam di gaza. Gelap menyayat.” itulah yang dikatakannya.
Aku memandangnya tak percaya. Dia masih berbaring di sampingku. Tersenyum, memandang langit. “Bagaimana kau masih bisa tersenyum jika duniamu seperti itu? Kalau aku mungkin sudah tak ingin hidup.”
Dia mengamati wajahku, “Yang kuceritakan itu adalah duniaku dulu. Duniaku sekarang sudah berubah. Memang masih sepi, masih tak ada suara apapun. Tapi, aku bisa melihat sekaligus mendengar dengan mataku, hatiku. Ada banyak hal yang bisa kita dengar tanpa telinga. Kenapa harus terkurung di dunia sepi yang menyakitkan? Ah, sudahlah. Jangan bicarakan dunia sepi yang itu. Aku bahagia dengan dunia ini. Kenapa harus mengingat dunia sepi yang itu?”
Aku tersenyum melihat wajah bahagianya. Yah, kenapa harus membahas masa lalu jika masa kini lebih membahagiakan? Jika masa lalu menyakitkan, bukankah tak perlu kita bawa? Sungguh, sepi yang cantik.

1 komentar:

Unknown at: 23 November 2012 pukul 14.43 mengatakan...

manissss.... lumayan...bikin aku baca sampai akhir... 1 point 4 u



Posting Komentar

Blogger templates

Blogroll