Hatiku
meronta. Bersama hujan, airmataku meleleh. Diriku berada
dipersimpangan antara ya dan tidak. Aku mencintainya, sejak pertemuan
pertama. Aku bahkan bisa tau itu dia dengan melihat siluetnya. Tapi
tubuhku malu mengakui. Aku hanya bisa melihatnya dari penjara kaca.
Dirinya
seringkali berlalu-lalang tanpa merasa bersalah pada diriku, yang
kadang membuat cemburu penciptaku karena begitu terfokus padanya.
Hatiku seperti deburan ombak memecah karang setiap bertemu. Namun,
lagi-lagi tanpa merasa bersalah dia tersenyum seperti gula. Membuatku
seperti akan mati terkena serangan diabetes.
Kadang
aku merasa seperti orang yang munafik. Aku ke tempat itu untuk
menemui penciptaku. Tapi, justru di tempat itulah dirinya ada. Segala
niatku seakan berubah. Jika aku tak mendapatinya, dua bulatan mataku
mencari-cari siluetnya.
Aku
takut, takut membuat sang penguasa cemburu melihatku suatu hari lebih
terpesona padanya. Matanya yang selalu memancarkan penerang untuk
hatiku, tak pernah berani kupandang lagi. Kutundukkan kepalaku.
Suaranya yang begitu merdu, menenangkan kegelisahanku. Kucoba untuk
menulikan pendengaranku.
Kuceritakan
segala perasaanku pada Yang Maha membolak-balikkan hati. Aku tak
ingin, menodai kesucian cinta. Dengan memandang yang bukan milikku.
Dengan menikmati sensasi yang belum tentu nanti menjadi milikku. Aku
terlalu berkhayal dia menjadi pendampingku.
“Ai,
cepat ambil pasir itu. Lempar saya!” Suara itu menggelegar, bersama
suara petir. Tubuhku turun, seakan-akan terhipnotis. Kulihat, dalam
sekejap, dadanya sudah dipenuhi titik-titik kecil. “Lempar dimulut
saya!” petir kedua menyambar lebih keras.
Kuperhatikan
pasir dalam genggamanku. “Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa
melemparkan ini ke mulutnya. Dia, orang yang kucintai selama ini.”
hatiku mendemo tindakanku. Protes pada suara-suara di sekitar. Tapi
apa daya hati? Dia terlalu kecil untuk melawan. Telapak tanganku yang
bersekongkol dengan tulang dan otot ternyata lebih kompak.
Semuanya
sekarang senyap. Hanya suara sesenggukanku yang menguasai.
Kuperhatikan wajah kurus yang selama ini kuabadikan dalam diamku.
Lihat mata itu, mata kekecewaan. Aku jatuh terduduk. Menyesali
tindakanku. Harusnya aku bisa rasional. Tak mungkin dia berani
menyuruhku memasukkan pasir ini ke mulut sahabatku.
***
“Mas
Riski, Ai minta maaf.” Lagi-lagi dia tetap tersenyum seperti gula.
Dirinya masih begitu bersinar di bawah gubuk kecil yang temaram.
Suara ombak pantai menolongku melebur degupan jantungku.
“Saya
baru pertama ini di lempar pasir.”
“Iya,
dilempar pasir sama orang spesial, jangan-jangan besok Ai jadi
jodohnya mas.” Ara, sahabatku mulai menggoda. Andai benar begitu.
***
Dan
disinilah aku. Di pesta pernikahan lelaki yang kucintai. Aku bisa
memandangnya dengan penuh. Butir-butir permata kebahagiaan menelusuri
pipiku. “Ara, tolong jaga penerang hatiku.” Ternyata, penciptaku
ingin aku bersama-Nya.
0 komentar:
Posting Komentar