Kamis, 21 Juni 2012

Love in Silent



Hatiku meronta. Bersama hujan, airmataku meleleh. Diriku berada dipersimpangan antara ya dan tidak. Aku mencintainya, sejak pertemuan pertama. Aku bahkan bisa tau itu dia dengan melihat siluetnya. Tapi tubuhku malu mengakui. Aku hanya bisa melihatnya dari penjara kaca.
Dirinya seringkali berlalu-lalang tanpa merasa bersalah pada diriku, yang kadang membuat cemburu penciptaku karena begitu terfokus padanya. Hatiku seperti deburan ombak memecah karang setiap bertemu. Namun, lagi-lagi tanpa merasa bersalah dia tersenyum seperti gula. Membuatku seperti akan mati terkena serangan diabetes.
Kadang aku merasa seperti orang yang munafik. Aku ke tempat itu untuk menemui penciptaku. Tapi, justru di tempat itulah dirinya ada. Segala niatku seakan berubah. Jika aku tak mendapatinya, dua bulatan mataku mencari-cari siluetnya.
Aku takut, takut membuat sang penguasa cemburu melihatku suatu hari lebih terpesona padanya. Matanya yang selalu memancarkan penerang untuk hatiku, tak pernah berani kupandang lagi. Kutundukkan kepalaku. Suaranya yang begitu merdu, menenangkan kegelisahanku. Kucoba untuk menulikan pendengaranku.
Kuceritakan segala perasaanku pada Yang Maha membolak-balikkan hati. Aku tak ingin, menodai kesucian cinta. Dengan memandang yang bukan milikku. Dengan menikmati sensasi yang belum tentu nanti menjadi milikku. Aku terlalu berkhayal dia menjadi pendampingku.
Ai, cepat ambil pasir itu. Lempar saya!” Suara itu menggelegar, bersama suara petir. Tubuhku turun, seakan-akan terhipnotis. Kulihat, dalam sekejap, dadanya sudah dipenuhi titik-titik kecil. “Lempar dimulut saya!” petir kedua menyambar lebih keras.
Kuperhatikan pasir dalam genggamanku. “Tuhan, bagaimana mungkin aku bisa melemparkan ini ke mulutnya. Dia, orang yang kucintai selama ini.” hatiku mendemo tindakanku. Protes pada suara-suara di sekitar. Tapi apa daya hati? Dia terlalu kecil untuk melawan. Telapak tanganku yang bersekongkol dengan tulang dan otot ternyata lebih kompak.
Semuanya sekarang senyap. Hanya suara sesenggukanku yang menguasai. Kuperhatikan wajah kurus yang selama ini kuabadikan dalam diamku. Lihat mata itu, mata kekecewaan. Aku jatuh terduduk. Menyesali tindakanku. Harusnya aku bisa rasional. Tak mungkin dia berani menyuruhku memasukkan pasir ini ke mulut sahabatku.
***
Mas Riski, Ai minta maaf.” Lagi-lagi dia tetap tersenyum seperti gula. Dirinya masih begitu bersinar di bawah gubuk kecil yang temaram. Suara ombak pantai menolongku melebur degupan jantungku.
Saya baru pertama ini di lempar pasir.”
Iya, dilempar pasir sama orang spesial, jangan-jangan besok Ai jadi jodohnya mas.” Ara, sahabatku mulai menggoda. Andai benar begitu.
***
Dan disinilah aku. Di pesta pernikahan lelaki yang kucintai. Aku bisa memandangnya dengan penuh. Butir-butir permata kebahagiaan menelusuri pipiku. “Ara, tolong jaga penerang hatiku.” Ternyata, penciptaku ingin aku bersama-Nya.

0 komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

Blogroll