Segalanya jadi membingungkan beberapa hari ini. Rasa cemburu seakan membentengiku untuk menjadi diriku yang biasanya. Menyakitkan dan tersiksa. Ini bukan masalah laki-laki atau perempuan. Ini masalah tempat.
Bayangkan, kamu mencintai suatu tubuh. Suatu hari tubuh itu mulai tertarik dengan yang lain. Fanatisme terhadap hal baru membuatnya terlalu terobsesi. Bahkan dia bisa menolakmu untuk hal-hal yang biasa kalian lakukan bersama, dengan alasan yang “biasanya tak berpengaruh” untuk membatalkan. Untuk saat itu dimana tempatmu? Jawabanya “Tak ada.”
Secara tanpa sadar kamu sudah tersingkir, mundur selangkah demi selangkah. Tubuh tidak seperti hati. Tubuh hanya punya satu waktu, satu tempat. Jika kamu menghabiskan 6 jam di hari ini bersama tubuh lain. Tak bisa kamu putar 6 jam yang sudah kamu gunakan itu untuk tubuh lainnya lagi. karena waktu tak bisa diputar. Begitu juga tempat. Tubuh lain sudah ada disisinya tak bisa kamu menempatinya.
Walaupun tak ada tempat untuk tubuh, aku yakin ada tempat untuk hati. Hati lebih luas jika dibanding lapangan sepak bola. Hati punya banyak ruang seperti hotel. Jika kita sudah check-in, untuk menyewa satu kamar. Kitalah pemegang hak kuasa atas kamar itu. Kitalah pemegang kunci itu. Tak ada yang punya kunci lain karena masing-masing kamar punya penghuni sendiri-sendiri, walaupun nantinya kamar itu akan ditinggal pergi. Tapi, kesan penghuni masing-masing kamar berbeda. Untuk itu, tak akan pernah pergi kesan itu.
Lebih mudahnya seperti batu yang sudah menetap lama di tanah. Saat kita angkat batu itu dari sana, pasti akan menimbulkan bekas. Dan bekas itu tak akan bisa dimasuki batu yang lain. Karena masing-masing batu punya ukuran yang berbeda.
Cinta itu penuh keikhlasan. Karena cinta itu tak butuh balasan. Maka aku akan tetap memberi cinta walau kamu tak meminta. Cintaku berbeda dengan yang lain. Cintaku untukmu tidak seperti cinta ayah kepada anak, selalu sabar walaupun mereka berbuat salah. Cintaku tidak seperti seorang perempuan kepada lelaki, yang selalu didampingi nafsu. Ah, cukup sulit mengatakan bagaimana cintaku untukmu. Yang pasti, karena aku mencintai Allah maka aku mencintaimu. Tentu saja karena Allah, tanpa-Nya kita tidak akan pernah bertemu bukan?
Aku sudah terbiasa tidak “menuntut”. Aku juga tak mengerti, apakah ini sikap yang salah atau tidak. Tapi aku akan selalu bersikap seperti ini. Menunggu. Menunggu kamu membuka pintumu lagi dan memanggilku. Aku tak akan pernah pergi dari tempatku. Tenang saja, aku tipe orang yang setia.
Bukan, tentu saja ini bukan bentuk penghindaranku darimu. Aku hanya memberimu kebebasan. Jika aku tak membolehkan orang lain menempati ruang disampingmu bukankah aku egois? Jika aku memaksamu menjalani aktivitas bersama kita padahal kamu sedang bosan, bukankah aku egois? Jika aku merengek-rengek menceritakan kegalauanku seperti biasanya bukankah aku egois? Jika aku tak peduli dengan tubuh yang ada disampingmu itu, bukankah aku egois?
Ingin sekali aku bisa egois supaya selalu bersamamu. Sudah kucoba, tapi tetap saja aku tak bisa. Aku adalah aku. Orang yang terbiasa “nrimo”, tak banyak mengeluarkan tuntutan. Untuk itu, aku tak akan melakukan apapun, hanya menunggumu. Inilah bentuk cintaku padamu. Kesetiaan.
Terkadang aku berpikir, apakah tubuh itu Allah dekatkan denganmu sebagai pengganti diriku karena aku akan segera pergi? Tak ada disampingmu karena aku akan lulus? Jika memang begitu, seharusnya aku berterima kasih pada Allah, Dia tak membiarkanmu kesepian nantinya. Aku? Bukankah kamu tahu aku kuat? Aku pasti akan bisa menjalani kehidupanku kemudian.
Walaupun aku suka berbicara, ternyata aku cukup pemilih untuk menceritakan banyak hal. –lebih tepatnya sulit mengatakan apa yang kuinginkan-. Sejak awal aku mengumbar kata cinta, tapi sebenarnya aku tak tahu apa itu cinta. Yang jelas aku menyukaimu. Aku ingin melihatmu tersenyum. Bukan menyimpan segala kesalmu. Juga bukan melihatmu menangis karena terlalu capek menyimpan beban. Memang kamu tak pernah katakan padaku. Tapi aku tahu kapan air mata itu memuncak. Walaupun kamu selalu menahannya. Dan itulah yang membuatmu capek.
Kamu hampir mirip denganku. Sulit mengumbar segala yang ada dipikiranmu kepada tubuh lain. Karena itulah aku memahamimu. Ada banyak hal yang kamu sembunyikan. Terkadang tubuh-tubuh lain menertawakanmu, mereka pikir kamu tak tahu apapun. Padahal sesungguhnya kamu tahu. Tahu melebihi yang mereka tahu. Dan kamu hanya menyembunyikannya. Selanjutnya kamu bersandiwara. Hebat kukatakan padamu. Memang aku suka menyembunyikan, tapi aku tak sehebat dirimu untuk hal sandiwara.
Jika sudah kulihat rasa capek itu. Tak bisa kubiarkan kamu berselimutkannya terlalu lama. Untuk itu aku suka mengajakmu jalan. Walaupun ke tempat yang tidak jelas. Dan aku tak bisa menolakmu ketika kamu mengajakku pergi. Aku tak suka melihat wajah kecewamu. Lalu, apakah ini yang disebut cinta? Jika ya, berarti aku mencintaimu. Terimakasih untuk segalanya.
0 komentar:
Posting Komentar