Selasa, 24 April 2012

Mbah Kakung Part 1


Dagingnya semakin menipis. Hampir lekat dengan tulang. Bukan karena busung lapar, tapi karena memang sudah tua. Dia adalah Kakekku. Ada banyak hal yang tak kupahami dari dirinya. Untuk itu, seringkali aku hanya bisa melihatnya. Entahlah, aku tak seperti cucu-cucunya yang lain. Yang mudah saja bertanya "Kenapa?" atau wanita itu, yang dengan ringan bisa bercanda dengannya. Hatiku terlalu miris, saat berada di dekatnya ada kesedihan yang muncul. Bahkan airmata bisa turun. Tak kuat melihat betapa rapuh dirinya sekarang.

Kakekku orang yang kuat. Beliau jarang sekali sakit. Sakitnya di hari pertama membuat semua keluarga khawatir. Tiba-tiba saja tubuhnya tak bisa digerakkan. Mulut tak bisa berucap. Seakan koma. Aku yang masih beraktivitas di luar malam itu, terpaksa pulang secepatnya. Menghentikan pekerjaan yang belum selesai.

Aku termasuk cucu yang lebih memilih jadi pendiam diantara yang lain. Diam itu pilihan? Tentu saja, jika kamu lebih nyaman menjadi pendiam kamu bisa memilihnya. Cukup mendengarkan, melihat dan menyentuh. Menghentikan sementara indra pengecap. Termasuk saat itu, tubuhnya terbujur seperti biasa di kasur lusuhnya. Ruangan yang biasanya dingin itu berubah menjadi panas. Banyak orang serempak mengeluarkan karbondioksida. Seumpama gas ini bisa sebagai alternatif pengganti LPG, kurasa gas yang terkumpul hari ini bisa masuk ke tabung 12 kg.

Aku masih tetap dalam pilihan diamku. Melihat. Sudah terlalu banyak yang duduk disekitar kasur lusuh itu. Ingin sekali aku memegangnya, tapi aku tak bisa mendekat. Orang-orang yang duduk di sekeliling kakek seakan jadi benteng cina. Beberapa kali mataku bersitatap dengan mata syahdu itu. Sejak dulu kami tak pernah berbicara lama, seperti layaknya hubungan kakek dan cucu di film-film. Mungkin karena itu aku tak memahaminya. 1 detik, 1 menit, aku memandangnya. Kukira aku akan bisa bertahan cukup lama. Ternyata di menit ke 5 airmataku sudah memuncak. Aku tak bisa menumpahkannya disini. Airmata hanya akan menambah kesedihan. Kuputuskan untuk pergi. Hari-hari berikutnya aku tak pernah datang lagi. Beberapa kali Bapak memaksaku. Tapi tetap saja aku tak bisa. Ini bukan masalah aku tak berbakti, tapi sungguh aku tak kuat. Tak kuat melihatnya dalam keadaan seperti itu.

Keadaan mulai membaik. Kupikir Kakek akan kembali ke kondisi normal. tapi ternyata tidak. 1 minggu setelah kondisinya mulai baik. Tubuhnya kembali membangkang. Energinya seakan turun drastis, dihisap makhluk tak kasat mata. Aku yang memang jarang di rumah kembali di telpon bapak. Di suruh cepat-cepat pulang.

Saat aku sampai di tempat kakek suasana yang lebih menyayat menyapaku. Suara bacaan Yasin menggema. Mata-mata bekas air mata terlihat. Airmata bercucuran. Dan Aku tetap dalam sikap diamku. Tak bisa mengatakan apapun. Hanya mengeluarkan air mata.

0 komentar:

Posting Komentar

Blogger templates

Blogroll