Kugoreskan
namanya di kaca jendela yang penuh embun pagi. Ian. 3 huruf simpel
yang membuatku bergidik. Sensasi mulai menjalar arogan dalam tubuhku.
Agak ngeri. Baru kali ini kurasakan sensasi ini dalam duniaku.
Waktu
mas Sahrul merayapiku dengan cintanya pun tak seperti ini rasanya.
Lebih hambar. Apa karena dulu tak ada ketulusan? Hanya nafsu
main-main yang mas Sahrul berikan untukku? Entahlah, segala hal
tentang pemuda 25 tahun itu membuat kepalaku berdeyut. Dia merenggut
dunia remajaku dan lari pergi. Hingga aku harus ke dunia lain,
meninggalkan tubuhku.
“Ais?”
suara cempreng mbak Rin –kakakku- membuatku terlonjak. “Akhir-akhir
ini mbak ngerasa kamu sudah kembali normal. Ehm, gak seperti……..”
“Orang
gila?” kupotong cepat kalimatnya. “Mbak juga berpikir aku gila?”
Syok tergambar jelas dimukanya. Membuat tawa cekikikku pecah.
***
Kupandangi
bayangan di cermin. Lama. Siapa dia? Itu aku? Bagaimana mungkin? Tak
mungkin aku jadi seperti badut begitu. Aku sudah memakai foundation
dengan rata, memakai pelembab sebelumnya. Aku juga memakai bedak, eye
shadow, blush on dengan benar.
Tanganku
gemetar. Bagaimana ini terjadi? Sebentar lagi Ian datang. tak mungkin
aku berpenampilan seperti itu. Tunggu, siapa bilang badut dalam
cermin itu aku? Pasti cermin didepanku ini salah. Kepanikan
menyiksaku.
“Siapa
kamu?” Badut itu tak bergerak, hanya panik karena kutanyai.
“Kamu
tanya siapa aku? Tentu saja aku adalah kamu. Ais.” Seringai lebar
muncul, menunjukkan gigi-gigi drakulanya. Suara cekikikannya pun
terdengar.
“Kamu
bukan aku! Kamu badut jelek.” Suaraku tercekat, membentuk jeritan
nyaring. Tubuhku bergetar. “Kamu badut jelek!” kuseret paksa
badut itu. Kubanting dia. Kuhantam berkali-kali. Aku tertawa keras
penuh kemenangan melihat darahnya memenuhi tanganku.
“Ais,
kamu kenapa?” napas mbak Rin memburu. “Oh, Tuhan. Kamu terluka
Ais? Bagaimana bisa cerminnya pecah?” wajah mbak Rin seperti nano
nano. Ada keterkejutan, kaget, ngeri. Matanya bergantian melihat
diriku yang berdarah-darah dan melihat serpihan kaca disekelilingku.
“Rin,
kamu sedang apa?” suara lembut itu sudah datang. Ian. Panik kembali
menyeringai. Aku takut Ian menganggapku orang jahat karena membunuh
badut itu. Apa yang harus kulakukan? Apa aku menangis saja? Ian pasti
percaya kalau bukan aku yang membunuh badut itu. Dia sudah di
belakang mbak Rin saat kuputuskan menjatuhkan air mataku. “Ais, apa
yang terjadi padamu?” dia berlari ke arahku. Menuntunku menyingkir
dari serpihan tubuh badut. “Rin? Bisakah kau berikan aku obat
luka?” mbak Rin masih mematung. Tapi akhirnya dia menyerah dan
meninggalkan kami berdua.
“Badut
itu bilang aku jelek seperti dia.” Kataku sesegukan.
“Ais
manis kok, gak jelek.” Tangan Ian membersihkan mukaku dengan tisu.
Segalanya jadi tenang karena ada Ian. Kupeluk tubuhnya, bau tubuhnya
membuatku melayang. Tidur.
***
Rin…..
Tak
pernah kulihat wajah adikku begitu damai dalam tidurnya. Gila seperti
memenjarakannya di dunia lain. Demi kerinduan ini, aku harus bisa
mencobanya.
“Ian,
bisakah kamu menjaga Ais?” Ian menoleh cepat padaku. “Aku tak
bisa melanjutkan proses ta’aruf kita. Kau lihat, Ais begitu
menyayangimu. Bisakah kau menjaganya?” kembali kuulangi
pertanyaanku.
“Apa
maksudmu?”
“Aku
ingin membuatnya kembali hidup. Kau yang bisa memberinya nyawa.”
Kucoba meyakinkannya dengan tersenyum. Tapi ternyata airmataku justru
jatuh.
“Kutahu
kau menyayangi Ais, tapi aku ingin dirimu yang menjadi istriku.”
“Kumohon.
Jagalah Ais. Kumohon.”
***