Prolog
Yang aku takutkan bukanlah kematian yang membayang di depan. Tapi ketika aku tak bisa mendapatimu lagi. Mungkinkah ini balasan Penciptaku karena mengkhianatinya dengan menyisipkan dirimu dihatiku? Aku tak tahu.
Mungkin saja aku telah membuat-Nya cemburu. Aku sempat berpikir ingin melamarmu terlebih dahulu. Ah, aku sungguh malu ketika memikirkan rencanaku beberapa minggu lalu. Membuat pipiku merona merah. Namun sekarang, pikiran itulah yang sangat ingin kulakukan. Saat dihadapkan pada kematian seperti ini.
Wajah-wajah cemas yang berlari-lari dihadapanku mengaburkan dirimu dari otakku. Hampir seluruh warga sudah meninggalkan tendanya dan berusaha menjejalkan tubuh mereka ke truk-truk evakuasi. Bahkan beberapa relawan yang tak terbiasa dengan keadaan panik lebih memilih melarikan tubuh mereka terlebih dahulu. Motor-motor mereka paksa keluar melalui rimbunan pohon yang tak disesaki manusia.
Hujan yang tadinya air sekarang berubah menjadi lumpur. Kalau aku berdiam disini sampai hujan ini reda bisa saja besok pagi sudah menjadi patung diantara tenda-tenda yang berdiam dingin. Tubuhku bergidik ngeri.
Kurasa bau belerang mulai meracuniku. Sampai bisa melihatmu ditengah kerumunan. Tapi apakah itu benar kau? Belum sempat kuyakinkan diriku, tubuhmu sudah hilang. Apakah aku benar-benar akan mati hingga berhalusinasi melihatmu lagi.
0 komentar:
Posting Komentar