![]() |
Foto ini gak ada diriku |
-->
Spesial
untuk Dia.
Wow, sudah lama gak nulis. Bulan
lalu terpaksa hanya posting foto-foto gak jelas untuk memberi tahu
bahwa aku masih ada. Terlalu banyak hal yang mengisi hari-hariku.
-Ah, ini bukan wujud keluhan ya. I just want to say this is me.-
Suatu hari saat aku cerita tentang
banyak hal yang kualami, dia bertanya “gak ikhlas?” Oh, ayolah,
ini gak bermaksud menunjukkan ketidak ikhlasan tapi, bukankah
seberapapun peliknya yang kita lalui harus kita ingat. -menurutku
sih- Mungkin sekarang menyakitkan, membahagiakan, tapi yakin deh di
masa depan semuanya hanya jadi guyonan yang kita tertawakan. Dan
inilah yang ingin kutunjukkan padanya.
Segalanya bermula dari 5 tahun lalu,
kukatakan Wow sekali lagi. Aku baru sadar sudah lama berada disini.
Kenalkan tempat ini bernama PADMAKANDA. Tempat yang cukup membuatku
terobsesi untuk bisa sampai disini, karena saat kulihat dari jauh
cukup indah. Dan ternyata memang indah walau terkadang ada sedikit
jurang yang menjebak.
Kalian tahu dengan begitu polos aku
cengar-cengir waktu dapat undangan pertama kali. Kayak dapat tiket
terbang ke korea satu jam dari sekarang. Atau ke Aussie dapat
beasiswa dari universitas terkemuka disana. So Excited banget. Diumur
14 tahun ada surat datang dan mengatakan “Selamat anda sudah lulus
dari kelas anak-anak, naik ke kelas selanjutnya remaja.” Dan
bersama surat itu ada kunci untuk membuka gerbang kedewasaan.
Bukankah menyenangkan?
Saking menyenangkannya sampai diriku
seperti mengalami cinta pertama. Bingung memilih baju apa yang akan
kupakai memenuhi undangan itu. Aku bahkan begitu wangi saat menunggu
kakak-kakak yang lebih besar buat berangkat bareng. Walaupun
begitu,ternyata AKU SALAH KOSTUM. Kalian tahu, ini bukan pesta hanya
sebuah rapat.
Ah, kujelaskan dulu. Aku suka
memakai jilbab. Sekolahku pun mewajibkan pakai jilbab. Sewaktu SD,
SMP aku begitu berambisi menjadi penata rias jilbab. Hahahaha -jujur
aku begitu PD dulu dengan kreasi jilbabku, dijamin gak ada yang bisa
niru deh.. :P – Nah, alasan itu yang membuatku memilih memakai
jilbab di undangan pertamaku ini. Dan kalian tahu apa yang kumaksud
salah kostum? Yup, betul salah satu diantara mereka bertanya, “Kamu
mau pengajian dimana e?” O.O
Mo ganti baju udah gak mungkin lagi, makanya tetep pd aja. Berpikir, mesti adalah mbak lain yang pakai jilbab. Dan ternyata, OMG I'm the only one in here. Looks deferent. Lainnya hitam hitam hitam dan aku? Pink. Dan saat itulah aku gontai. Kalau bahasa sekarang galau namanya. (perlu ditekankan yang kumaksud disini bukan tentang jilbabnya, tapi tentang malu yang harus kuhadapai) “gak ikhlas?” tentusaja waktu itu. Tapi sekarang? Hahaha, bodoh banget diriku dulu. Gitu aja bikin malu. Harusnya mah, bodo amat. Penting po penilaian orang lain? GAK!!
Mo ganti baju udah gak mungkin lagi, makanya tetep pd aja. Berpikir, mesti adalah mbak lain yang pakai jilbab. Dan ternyata, OMG I'm the only one in here. Looks deferent. Lainnya hitam hitam hitam dan aku? Pink. Dan saat itulah aku gontai. Kalau bahasa sekarang galau namanya. (perlu ditekankan yang kumaksud disini bukan tentang jilbabnya, tapi tentang malu yang harus kuhadapai) “gak ikhlas?” tentusaja waktu itu. Tapi sekarang? Hahaha, bodoh banget diriku dulu. Gitu aja bikin malu. Harusnya mah, bodo amat. Penting po penilaian orang lain? GAK!!
see?? cerita lama itu bukan tentang
keluhan yang banyak orang ingin katakan. Tapi sensasinya waktu itu,
yang bikin merindu.
Back to Padmakanda. Di tahun pertama rasa grogi masih saja ada. Aku harus berhubungan dengan orang yang lebih dewasa. Walaupun mereka mencoba untuk ramah padaku, tapi ternyata sikap-sikap itu ada yang tidak memuaskanku. Diantara mereka ada yang suka memerintah, aku tak akan merasa tersinggung jika itu memang tugas kami. Atau dimintai tolong, aku tak akan merasa itu tidak benar. Tapi memerintah itulah yang membuatku mulai mendirikan benteng pembatas. Dan setelah kuselesaikan perintah itu. Tak ada yang berterimakasih. Menganggap sudah seharusnya begitu. Padahal kalian tahu? Ini bukan hanya tugasku seorang, tugas semuanya. Tapi dengan enaknya mereka tak mau membantu. Hanya saja, ada yang membuatku terhibur hingga bisa bertahan. Dia. Tanpa semua orang sadari, dia mengucapkan terimakasih padaku. Hahaha, betapa baiknya dirinya. Ah, ini “dia” yang lain.
Back to Padmakanda. Di tahun pertama rasa grogi masih saja ada. Aku harus berhubungan dengan orang yang lebih dewasa. Walaupun mereka mencoba untuk ramah padaku, tapi ternyata sikap-sikap itu ada yang tidak memuaskanku. Diantara mereka ada yang suka memerintah, aku tak akan merasa tersinggung jika itu memang tugas kami. Atau dimintai tolong, aku tak akan merasa itu tidak benar. Tapi memerintah itulah yang membuatku mulai mendirikan benteng pembatas. Dan setelah kuselesaikan perintah itu. Tak ada yang berterimakasih. Menganggap sudah seharusnya begitu. Padahal kalian tahu? Ini bukan hanya tugasku seorang, tugas semuanya. Tapi dengan enaknya mereka tak mau membantu. Hanya saja, ada yang membuatku terhibur hingga bisa bertahan. Dia. Tanpa semua orang sadari, dia mengucapkan terimakasih padaku. Hahaha, betapa baiknya dirinya. Ah, ini “dia” yang lain.
Sakit hati? Kujawab “ya”. Waktu
itu. Tapi sekarang? Heeemm,, hebat ya aku gak banting piring.
Hahahaha. :P
Dear Dia,
Yang ingin kutunjukkan padamu, bukan
rasa berat itu. Tapi bagaimana rasa berat bisa menjadi ikhlas. Bagiku
jika orang yang mengatakan ikhlas dengan mulut mereka bisa diragukan
keikhlasannya. Bukankah juga bisa dibalik? Orang yang tidak
mengatakan ikhlas bisa saja merasakan rasa ikhlas itu. Ikhlas itu
kita tetap mengerjakan hal yang berat karena memang harus, dan
merubahnya menjadi kerelaan. Mengganti rasa terpaksa dengan
keridhoan. Menikmati setiap detail rasa berat itu. Karena apa? Karena
bagiku, akan sulit merasakan sensasi itu dimasa akan datang. So,
sekali lagi kukatakan. Kenapa tak kau lihat kebalikan dari yang biasa
orang katakan? Di setiap keluhan, apakah rasa tidak ikhlas yang
menguasai, atau ternyata rasa ikhlas yang terbalut rasa tidak ikhlas.
Aku tak akan mengatakan padamu apakah diriku ikhlas atau tidak
melakukan segalanya selama ini. Bukankah kamu bisa menilai? Apakah
disegala ceritaku padamu raut mukaku murung dan gelisah? Atau ada
terselip rasa bahagia yang terkadang tak kututupi.
0 komentar:
Posting Komentar